Rabu, 02 Juni 2010

kontroversi poligami dan nikah sirri

1.poligami
Sebagai sebuah istilah maupun realitas empiris, poligami telah lama terkurung dalam wilayah perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Jika diteliti, pemicunya sebetulnya tidak terletak pada ke-zanni-an (ketidak tegasan) dalil mengenai kebolehannya, tetapi lebih banyak didorong oleh sejumlah kepentingan pihak tertentu atau buruknya praktik poligami yang ditunjukkan oleh kebanyakan pasangan yang berpoligami. Dalam batas-batas tertentu, hal ini kemudian dijadikan jastifikasi (pembenar) oleh sebagian kalangan untuk menolak keabsahan poligami sebagai sebuah realitas hukum Islam. Bahkan tidak jarang, kalangan Islam Liberal, termasuk kaum feminis, memandang poligami sebagai salah satu bentuk penindasan atau tindakan diskriminatif atas perempuan. Demikianlah sebagaimana yang ditunjukkan oleh - sebagai misal - Abdullah Ahmed Na'im, tokoh Islam Liberal asal Sudan, atau Fatima Mesnissi, tokoh feminis asal Maroko. Akibatnya citra poligami - yang kebolehannya telah mendapat jastifikasi (pembenaran) dalam Al-Quran sekaligus pernah dipraktikan Nabi saw. - akhir-akhir ini semakin terpuruk, bahkan dalam batas-batas tertentu telah dianggap sebagai sebuah 'aib'; suatu kondisi yang tidak pernah terjadi pada masa Rosulullah saw. dan para sahabat sendiri. Ironisnya banyak di antara wanita muslimah sendiri bersikap defensif; meskipun tidak menolak kebolehan poligami dalam Islam, mereka tetap mengajukan sejumlah keberatan dengan berlindung di balik ungkapan. "Poligami memang boleh, tetapi, kan, tidak mesti dilakukan."
Tidak dapat dipungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus; kadang-kadang ditimpa oleh cobaan dan ujian. Pada umumnya, sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah Swt. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Adapula keadaan ketika seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya; ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, disisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat melayaninya. Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa didunia ini ada sebagian laki-laki yang tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan laki-laki umumnya). Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Lebih dari itu, fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan; baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak daridapa lelaki.

Namun demikian, fakta-fakta di atas tidak dapat dijadikan dalil pembenar bagi kebolehan poligami. Fakta-fakta tersebut sekadar mendukung pemahaman, bahwa poligami merupakan salah satu solusi bagi sebagian persoalan/permasalahan yang dihadapi umat manusia. Sementara itu, dalil tentang kebolehan poligami ini tetap harus bertumpu pada nash-nash syariat, yakni sebagaimana al-Quran
surat an-nisa' ayat 3 yang artinya :"Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi jika kalian khawatir tiadak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah budak-budak yang kalian miliki. Hal itu adalah lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya"'. Ayat al-Qur’an di atas membolehkan adanya poligami, sekaligus membatasinya pada bilangan empat. Akan tetapi, ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berbuat adil. Sebab, pembatasan pada bilangan bilangan satu-dalam kondisi adanya kekhawatiran tidak berlaku adil- merupakan tindakan yang lebih dekat pda sikap tidak berlaku lalim. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap muslim.
Menurut Ketua Jurusan Al-ahwal asy-syaksiyyah, Dra.Gusnida, Ppoligami itu dibolehkan asal mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan dalam hukum islam. Persyaratan ini ada yang bersifat kumulatif dan ada pula yang alternatif, sebagaimana tercantum dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 ayat 1. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa persyaratan alternatif poligami adalah sebagai berikut :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Sedangkan persyaratan kumulatif(wajib) poligami itu adalah sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari istri atau para istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kesejahteraan hidup para istri dan anak-anaknya dengan melampirkan surat keterangan gaji suami(ketika perkara ini dibawa ke pengadilan), dan jika suami adalah seorang Pegawai Negeri Sipil(PNS) hendaklah melampirkan surat izin dari atasannya untuk mengajukan ke pengadilan mengenai kebolehan untuk berpoligami
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap para istri dan anak-anak mereka
Jika sudah terpenuhi seluruh persyaratan kumulatif berpoligami diatas dan salah satu persyaratan alternatif kebolehan berpoligami, maka permohonan berpoligami itu dapat diajukan ke Pengadilan Agama untuk meminta persetujuan dari Hakim Pengadilan. Jadi, berpoligami itu boleh asal tahu aturan mainnya.
2. Nikah Sirri
Nikah Sirri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya pencatatan nikah di kantor pencatatan sipil atau biasa disebut dengan nikah bawah tangan. Praktek nikah seperti ini memang diperbolehkan, tapi merugi bagi suami dan istri karena tidak menjalankan prosedur hukum yang berlaku di indonesia sehingga mempersulit untuk keadministrasian negara. Diantara kesulitan itu adalah :
a. Akta Nikah tidak ada
b. Memasukkan istri dan anak ke dalam tunjangan gaji suami tidak bisa dilakukan, begitu pula sebaliknya
c. Tidak bisa mengurus akta kelahiran anak, karena untuk mengurusnya dibutuhkan akta nikah
d. Jika suatu saat suami enggan untuk menafkahi istri dan anknya, istri tidak dapat mengajukan permasalahan ini ke pengadilan, karena dibutuhkan akta nikah suami dan istri
e. Jika suatu saat suami menyakiti istri, istri tidak dapat mengajukan cerai gugat ke pengadilan karena dibutuhkan akta nikah
f. Jika terjadi perceraian di bawah tangan, Suami dan Istri tidak dapat menuntut pembagian harta bersama karena dibutuhkan akta cerai dari suami istri yang telah bercerai tersebut
Berdasarkan resiko-resiko diatas, banyak sekali kerugian-kerugian yang didapatkan karena pelaksanaan nikah sirri ini.
Terkait dengan penyelewengan terhadap ketentuan hukum ini, muncullah Musdah Mulia, salah seorang tokoh yang merancang Draff Conter Legal (CLD-KHI) yang sangat jauh dari kebenaran sesuai dengan hukum islam, diantaranya adalah :
a. Pernikahan bukan ibadah, hanya sekedar untuk memenuhi syahwat semata
Dalam permasalahan ini, dijawab oleh sabda nabi yang artinya : " wahai para pemuda, siapa yang sanggup diantara kalian untuk menikah, maka menikahlah, maka jika kamu belum sanggup, maka berpuasalah karena itu adalah sebaik-baik obat". Sudah jelaslah bahwa Nabi memerintahkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan, perintah nabi ini adalah ibadah, logikah manakah yang bisa mengatakan bahwa pernikh bukan ibadah?? bodoh sekali.
b. Perempuan boleh menmikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali, alasannya adalah gender
Menurut mazhab hanafi, boleh-boleh saja perempuan menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali dengan syarat kalau dia menikah dengan laki-laki yang sekufu dengannya karena hak wanita akan terpenuhi. Tapi kalau wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, wajiblah dengan adanya wali, karena tujuan wali ini adalah agar terjaganya hak-hak wanita. Sedangkan di Dalam KHI pasal 23 disebutkan bahwa pernikahan itu wajiblah dengan adanya wali, dan jika wali itu gfhaib atau tidak diketahui keberadaannya, maka yang menjadi wali adalah Wali Hakim yang disetujui oleh kedua belah pihak. Jadi, memang benar wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali(menurut hanafi) sesuai dengan alasan diatas, sangat salah sekali kalau alasannya adalah gender.
c. Pernikahan beda agama diperbolehkan
Dalam surat al-maidah ayat 5 telah disebutkan bahwa memang diperbolehkan pernikahan antara orang islam dengan ahli kitab, akan tetapi kalau di indonesia tidak dibenarkan lagi, sesuai dengan KHI pasal 40 ayat c dan 44 yang menyebutkan bahwa pegawai pencatat nikah tidak dibenarkan lagi mencatatkan pernikahan pasangan yang berbeda agama. Peraturan ini bagus sekali, karena jika diizinkan juga akan terjadi hal yang tidak diinginkan, yaitu contohnya pada awal pernikahan tujuan laki-laki muslim untuk menikahi perempuan non islam adalah untuk mengajaknya masuk ke agama islam. Tapi, kenyataan yang terjadi saat ini malah sebaliknya, laki-laki yang terpancing untuk murtad. Nah, untuk mengantisipasi hal ini, sangat baguslah peraturan ini diberlakukan.
d. Kawin kontrak dibolehkan
Menurut jumhur, pernikahan kontark tidak dibolehkan, karena sudah banyak sekali hadis nabi yang melarangnya. Selain itu, terdapat ijma' sukuty sahabat yaitu ketika Umar bin Khattab berkutbah dan melarang nikah kontrak ini,lalu setelah khotbah itu, tidak ada sahabat yang membantahnya, maka sepakatlah seluruh sahabat pada waktu itu bahwa nikan kontark diharamkan sampai seterusnya. Jika ditinjau dari tujuan pernikahan pun tidak sesuai praktek nikah kontrak ini, yaitu tujuannya adalah untuk mencapai kehidupan yang mawaddah warrahmah dan kekal sampai maut menjemput.
Dan masih banyak lagi yang terdapat dalam CLD-KHI ini yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Disamping itu, lain pula yang terjadi di Rusia. Presiden Karimov beserta jajarannya melancarkan program kenegaraan untuk menekan jumlah penduduk dengan cara sterilisasi(pemandulan). Kasusnya seperti ini, ketika seorang wanita telah melahirkan anak pertamanya, pihak ruamah sakit menyuntik KB si wanita secara diam-diam agar si wanita ini tidak bisa hamil kembali.
KB dalam islam disebut dengan 'azal, yaitu menumpahkan mani diluar bersenggama. Saat sekarang, selain alat suntik, juga ada pula alat kontrasepsi yang lain tapi keguanaannya sama yaitu : kondom, spiral, dll. Kondom ini tidak memasakkan sel telur, karena sel dari penis tidak bertemu dengan ovum untuk proses pembuahan. Selain itu, ada juga spiral yang kerjanya untuk mengikat tuba kolovi (saluran indung telur) sehingga saat bersenggama tidak dapat dibuahi.
Jadi, pengunaan KB, Kondom dan Spiral memang diperbolehkan untuk dipergunakan oleh suami dan istri menurut jumhur ulama, tapi jika pemasangannya dilakukan tanpa sepengetahuan oleh suami dan istri, ini baru dilarang karena melanggar HAM. Kita tentu sangat menbgetahui bagaiman kehidupan di Rusia yang terkenal dengan negara komunbis itu, sangat tidak mengindahkan hak asasi manusia.

Doggie