Jumat, 20 April 2012

Pudarnya Makna Hari Kartini


Raden Adjeng Kartini merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia sebagai pelopor perjuangan kaum perempuan, simbol persamaan gender, dan emansipasi wanita. Ia merupakan putri dari golongan bangsawan jawa yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara.

Kartini lahir di Jepara, pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal pada tanggal 17 September 1904 di Rembang.

Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Lich) merupakan sebuah buku kumpulan surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Buku tersebut merupakan bukti begitu besar keinginan seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya sebagai pelopor kebangkitan perempuan, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 21 April sebagai hari lahir Kartini dan sekaligus juga menetapkan Raden Adjeng Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang diperingati setiap tahun hingga sekarang dikenal dengan Hari Kartini.

Setiap tahun kita merayakan Hari Kartini khususnya perempuan, tepatnya setiap tanggal 21 April. Biasanya banyak kegiatan, seperti kewajiban memakai pakaian adat dari berbagai daerah pelosok Indonesia.

Tak hanya itu, dalam perayaan Hari Kartini selalu saja diwarnai dengan lomba yang berbau perempuan. Mulai dari lomba memasak, pasang sanggul, merias wajah, peragaan busana dan sebagainya yang memang menunjukkan kekhasan seorang wanita. Bukankah hal ini malah bisa membatasi aktivitas dari seorang wanita? Karena hal itu hanya menunjukkan tentang pekerjaan sehari-hari seorang wanita.

Seharusnya Hari Kartini ditandai dengan aktivitas yang menunjukkan kesetaraan kaum wanita dan pria, bukannya perlombaan yang hanya mencirikan wanita saja. Para aktivis wanita juga sering meneriakkan tentang kesetaraan gender. Tapi mereka sendiri belum mengetahui kemampuan dari para wanita sendiri apakah bisa disetarakan dengan kaum pria. Inti masalah dari kesetaraan gender sendiri ada pada diri wanita sendiri. Apa mereka mau berusaha keras agar bias sejajar dengan kaum pria? Para wanita sangat mudah menyerah jika mereka menemui sedikit saja masalah dan mereka juga pesimis atas usahanya sendiri.

Sejalan dengan itu, Komnas Perempuan menjadikan hari emansipasi wanita tersebut sebagai momentum penegakan hak-hak perempuan. Hak itu adalah hak atas pendidikan, kemandirian ekonomi, hak untuk tidak disakiti dan sikap protes terhadap budaya atau adat-istiadat yang mendiskriminasi perempuan.

Cita-cita Kartini akan sulit terwujud sepanjang kartini-kartini Indonesia saat ini masih mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan kekerasan seksual.

Meski sesungguhnya Indonesia sendiri sudah memiliki instrumen hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan, seperti UU PKDRT dan peraturan lainnya, namun itu belum cukup karena akses pengetahuan  masyarakat terhadap Undang-undang atau peraturan tersebut masih sangat terbatas.

Buktinya, dalam catatan tahunan Komnas Perempuan 2011 dan diluncurkan pada Maret 2012, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tingkat kekerasan yang paling tinggi di Indonesia, yakni sebanyak 113.878 kasus (95.6 persen), sementara kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sebanyak 5.187 kasus (4,35 persen) dan sisanya dilakukan oleh negara sebanyak 42 kasus (0,03 persen).

Sejatinya, aspek penting yang mesti diperingati dari Hari Kartini adalah merefleksikan dan mengevaluasi apakah cita-cita Kartini yang hendak ia wujudkan saat ini sudah terpenuhi atau belum.

Tak hanya itu, kita sebagai kartini-kartini masa depan harus menunjukkan bahwa wanita memang pantas untuk bersaing dengan kaum pria tanpa meninggalkan kodratnya sebagai wanita. Bukannya hanya mengikuti lomba yang memang khas wanita dan cukup meneriakkan emansipasi tanpa diiringi dengan usaha yang menunjukkan bahwa kita pantas untuk itu.

Doggie